Bayang Ketakutan
Oleh: Aidi Kamil Baihaki
Agustus 2020, Aurel berbenah. Membenahi pakaian yang akan dibawanya ke pondok, sekaligus membenahi hatinya yang mungkin penuh harapan bercampur kecemasan.
Saya tidak melihat gelagat yang tak diharapkan pada tingkah lakunya. Masih normal seperti biasanya.
Mondok bukanlah keinginan Aurel sendiri, melainkan arahan dari hampir seluruh keluarga. Terutama saya sebagai ayahnya. Walaupun dulu pernah tercetus tekad untuk menjauhkan anak-anak saya dari dunia pesantren.
Saat saya mondok dulu, tidak makan sehari semalam adalah hal biasa. Makan nasi putih saja tanpa lauk juga sangat biasa. Dan pengalaman seperti itu tidak akan saya tularkan pada anak cucu kelak. Itulah mengapa saya pernah keceplosan untuk tidak memondokkan anak.
Tapi seiring berubahnya nasib, keyakinan saya pun mulai berubah. Tidak mungkin dengan ekonomi cukup seperti saya akan menyebabkan anak mengalami nasib serupa seperti saat saya mondok. Saya yakin sepenuhya.
Jauh sebelum keberangkatan Aurel, sudah saya tekankan bahwa kelak setelah lulus sekolah dasar dia akan saya kirim ke tempat lain untuk belajar lebih mandiri. Tempat itu adalah almamater ayah dan kakeknya; Pondok Pesantren Nurul Jadid, Paiton Probolinggo, Jawa Timur.
Sejak kelas 4 saya sudah mengingatkannya setiap kali. Dan Aurel tidak pernah menyatakan penolakannya.
Di depan gerbang pesantren, ketika saya dan rombongan yang mengantarkan Aurel turun dari mobil, saya menatap lekat pada Aurel. Masih terlihat dia tenang. Tapi itu tidak seratus persen membuat saya yakin tentang kebulatan tekad dan niatnya.
"Ingat-ingatlah masa-masa ketika kamu baru pindah sekolah. Kamu akan mengalami hal yang sama. Kehilangan teman-teman pada masa lalu yang menurutmu adalah teman-teman terbaik. Tapi nyatanya di tempat baru kamu menemukan teman yang justeru lebih baik. Kamu akan meninggalkan lingkungan yang sudah kamu kenal dengan baik, untuk menemukan lingkungan baru yang akan lebih baik!" Begitu nasehat saya.
Aurel hanya sedikit tersenyum.
"Kalau kamu menilai Ayah membuangmu ke tempat ini, memang begitu adanya. Ayah membuangmu agar terselamatkan dari berbagai penyakit yang kelak akan menggerogoti masa depanmu jika masih berada pada tempat dan situasi yang sekarang".
Sebenarnya hatiku bergetar gentar, Mampukah Aurel bertahan untuk beradaptasi pada situasi barunya? Sementara ibunya saja meneteskan air mata pada detik terakhir memeluk Aurel.
Sekarang sudah hampir 6 bulan keberadaan Aurel di Pondok. Beberapa temannya ada yang tidak bisa bertahan, memaksa dijemput oleh keluarganya untuk pulang. Beberapa yang bertahan mengalami sakit-sakitan, mungkin efek dari ketertekanan mental.
Beberapa hari yang lalu sepulang sekolah, saya mendapati ibu dan anak saling berbicara lewat telpon. Karena suara handphone yang diloudspeaker maka saya dapat memastikan bahwa itu Aurel.
"Kok suaramu seperti lemah, Rel?" Tanya Ibunya.
"Aurel puasa, Bu!"
Dhes!
Jawaban Aurel terdengar seperti menyambar hati.
Subhanallah!
Maha Suci Engkau, ya Allah!
Puteriku yang kukuatirkan mengalami kelaparan, justeru telah memilihnya dengan sepenuh hati. Menjalani laparnya bukan sebagai paksaan seperti yang pernah saya alami. Lapar karena memang tidak mempunyai uang untuk membeli makanan.
Aurel melakukan puasa Senin - Kamis tanpa disuruh siapapun.
Saat ditanya ibunya, berpuasa dengan siapa? Aurel menjawab berdua dengan Aurel, temannya yang mungil dan mempunyai nama panggilan yang sama.
Saya tidak pernah terpikir bahwa Aurel akan melakukan apa yang justeru saya takutkan. Sehingga tak ada alasan bagi saya untuk tidak berterima kasih pada Tuhan.
Akhirnya saya harus mengakui, Aurel telah lebih baik dari ayahnya; si ayah lapar karena tidak mempunyai sesuatu untuk dijadikan makanan, tapi Aurel lapar karena menghindari makanan.
Komentar
Posting Komentar