Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Februari, 2021

Wajib Membuka Mata

Wajib Membuka Mata  Oleh : Aidi Kamil Baihaki  Pernah saya mendengar pertanyaan, “Bagaimana hukumnya shalat dengan memejamkan mata?” Ulama mempunyai pendapat beragam tentang memejamkan mata ini.  Menurut Imam Ahmad, hukumnya makruh.  Ibnul Qayim menjawab, memejamkan mata dalam shalat bukanlah petunjuk Nabi. Dalam artian, hal itu bukan sesuatu yang dianjurkan.  Ada pula ulama yang menghukumi boleh / mubah, misalnya untuk menghindari pemandangan yang menganggu hati, maka boleh saja shalat dengan memejamkan mata.  Sementara ... Nabi Muhammad SAW selalu membuka mata saat shalat, sehingga yang demikian itu dianggap sunnah.  Tapi bagiku, Shalat dengan mata terbuka adalah wajib! Terutama dalam shalat berjamaah. Sebab agar kita dapat mengikuti gerakan imam dengan tepat, kita harus memperhatikan gerakan imam, atau makmum lainnya yang melihat gerakan imam tersebut. Itu tentu saja harus dengan membuka mata.  Kenapa menjadi wajib?  Hehe... Itu pendapat untuk diri sendiri, lho.  Ada sebab musaba

Anugerah Keyakinan

Anugerah Keyakinan Oleh: Aidi Kamil Baihaki  Siang itu aku pulang lebih siang dari biasanya. Kudapati istri sedang tertidur pada alas tikar di lantai. Aku termangu.  Tanganku meraih buku tulis mengecek catatan yang biasanya ditulisi nomer handphone pembeli pulsa. Tidak ada satupun transakasi baru hari itu.  “Maafkan aku, Dik!” batinku.  Aku bekerja sebagai Guru Sukwan di Sekolah Dasar. Namun lebih tepatnya bukan bekerja, karena dari situ hampir tidak ada gaji. Hanya honor 250 ribu perbulan dari Pemkab yang ditransfer ke rekening pribadi setiap enam bulan sekali.  Untuk menyokong keperluan sehari-hari, kubuka konter kecil berjualan pulsa. Keuntungannya antara 1000-1500 pertransaksi. Pelanggannyapun hanya belasan orang tiap hari.  Akhir-akhir itu, lebih sering hanya 5 kali transaksi. Isteriku dalam kondisi hamil besar. Usia kandungannya sudah 8 bulan.  Sudah kusiapkan Rp,750.000 ditabungan. Sisa honor yang kuusahakan untuk tetap utuh hingga nanti dibutuhkan. Berjaga-jaga kelak akan ada k

Ternyata Tak Seberapa

Ternyata Tak Seberapa Oleh: Aidi Kamil Baihaki Sepupuku, Rina menangis meraung tak terkendali. Sesekali memukul-mukul lantai dengan keras. Nyaris lupa diri. Sebagian orang ikut menangis karena iba, sebagian lainnya berusaha menenangkannya, tapi tidak berhasil. Akhirnya kami biarkan dia melampiaskan emosinya sampai tuntas.  Sikap Rina tidak berlebihan. Memang tak mudah menerima kenyataan bahwa ibu yang sangat menyayangi dan begitu dekat dengannya tiba-tiba meninggal.  Rina pulang dari Pesantren karena ditelpon Ayahnya. Katanya, ada urusan keluarga yang sangat penting. Sementara Ayahnya masih dalam perjalanan pulang dari Tuban. Saat perempuan yang mereka kasihi dinaza’, mereka berdua sedang tidak disampingnya.  Sengaja Rina tidak diberitahu yang sebenarnya, dikuatirkan dia akan mengalami hal di luar dugaan selama perjalanan pulang sendirian dengan naik bus. Ibu Rina sebelumnya memang sakit, tapi tidak terlalu parah. Kondisinya tiba-tiba kritis dalam hitungan jam.  Tidak ada yang menyangk

Terganjar Doa Ajaib

Terganjar Doa Ajaib  Oleh: Aidi Kamil Baihaki  Lelaki itu duduk terbungkus sarungnya di kursi panjang yang tersedia di sisi jalan lorong masuk menuju deretan kamar perawatan Rumah Sakit.  Kursi panjang itu terletak di sana bukan untuk tujuan khusus. Mungkin sekedar memberi tempat untuk mereka yang bosan berada dalam kamar perawatan.  Aku baru saja dari Mushalla Rumah Sakit hendak menggantikan saudara ipar yang menunggui isteri di kamar pasien.  Sudah sejak adzan Maghrib tadi aku berada di Mushalla. Sudah waktunya untuk menggantikan.  Ketika sampai di lorong masuk aku melihat laki² itu. Sepertinya sudah lama dia di sana.  Entah kenapa aku malah ingin duduk pula di situ, lupa bahwa mungkin saja iparku sudah menunggu sejak tadi.  Dia nampak tidak tertarik untuk menoleh padaku. Sama sekali tidak terusik meskipun aku mengambil tempat di kursi panjang sebelahnya.  Aku hendak menyapa, tapi ragu. Kuatir malah mengganggunya.  Hampir sejam berlalu, kesepian membuatku memberanikan diri untuk meng

Mimpi Meila, Kenyataan Tina

Mimpi Meila, Kenyataan Tina  Oleh: Aidi Kamil Baihaki Sudah tiga kali Meila mengalami mimpi menakutkan. Tiga malam berturut-turut. Semua menakutkan. Mimpi itu seakan runtut seperti tayangan sinetron. Menghadirkan ketakutan bagi Meila, sebab bayangan hitam selalu menyergapnya ketika bersama Tina.  Walaupun itu hanya mimpi.  Tiga kali pula Tina gagal meyakinkan Meila bahwa mimpinya hanya bunga tidur, tidak ada makna sama sekali. Serupa juga kegagalan Meila untuk meyakinkan Tina bahwa mimpinya adalah sebuah firasat.  “Kita lihat saja, dalam seminggu ke depan. Jika tidak ada apa-apa, berarti pendapatku benar.” ujar Tina.  “Dan jika terjadi apa-apa, berarti kamu harus merubah pemahaman!” sergah Meila.  Tina mengangkat alisnya, dia yakin kelak kebenaran akan berada di pihaknya. Seulas senyumnya adalah jawaban persetujuan dan kesepakatan.  Tiga hari berikutnya mimpi itu tidak datang lagi, dan selama itu tidak ada kejadian apapun yang dapat dikaitkan dengan mimpi Meila.  Rupanya Meila harus j

Mantera Orang Lemah

Mantra Orang Lemah  Oleh: Aidi Kamil Baihaki.  Romli belum menuntaskan kantuknya saat terdengar ketukan dari pintu depan.  Beberapa kali mulutnya menguap dan menggerutu, memisuh karena suara itu.  Kantuknya berganti menjadi kepanikan saat ketukan berubah gedoran.  Sarung Romli dikalungkan begitu saja kemudian langsung berkelebat melompat ke lobang jendela yang setengah terbuka.  Lompatan sempurna, setidaknya karena lompatan itu tanpa rencana dan tanpa latihan sebelumnya.  Pagar samping rumahnya yang setinggi 1 setengah meter berhasil dilampauinya.  Tapi apes, belum lagi kakinya mendarat sempurna, lehernya sudah tertarik oleh lilitan sarung yang ujungnya nyantol di pagar bambu yang dilompatinya.  GUBRAAAK!  Romli meringis. Tubuhnya oleng menghantam pagar.  Cepat-cepat dia berdiri, sampai lupa untuk mengeluhkan sakit di kakinya yang berdarah tergores beling.  Baru saja hendak berlari...  “Buka, Baaang...! Cepat!” Suara yang akrab di telinganya berteriak dari depan pintu rumah..  Haddee

Merantau Kembali

Merantau Kembali Oleh: Aidi Kamil Baihaki Senyum tipisnya itu bagiku ibarat kanopi. Menaungi dari panas dan memayungiku dari hujan. Di bawahnya, aku tak pernah merasa kepanasan, juga tak pernah merasa kedinginan.  Kupastikan kalian tak akan memahami sebetapa indah serta sebegitu berharga lesung pipitnya. Sebab takaran penilaian setiap orang pastilah berbeda, disesuaikan dengan dari sudut sebelah mana ia melihat.  Sementara sudut pandang cinta... Telah banyak membuat seseorang buta.  Atau mungkin membabi buta?  Mariani, nama biasa yang membalut penampakan jasad luar biasa. Nyaris kuanggap jelmaan peri dari dunia dongeng. Menjadi tambatan hati sejak pandangan pertama. Mengobarkan nyala kasmaranku seperti kobaran kebakaran hektaran hutan korban kemarau panjang.  Ia benar-benar istimewa sedemikian rupa. ______________  Coba keluarlah kalian dari kamar, untuk mendengarkan celoteh burung di dedahanan. Saksikan suasana awal hari berlatar semburat sinar pagi, dan akan membuat kalian berdecak,

Seribu Cara Tuhan (2)

Seribu Cara Tuhan (2) Oleh: Aidi Kamil Baihaki Jam 12.30 WIB.  Isteri dan anakku turun dari mobil. Mereka mau berbelanja di pasar Besuki. Aku hanya mengantarnya ke Terminal, di situ aku duduk menunggu. Di bangku yang disediakan bagi calon penumpang yang menunggu bus datang. Belum sepuluh langkah, anakku berbalik arah. Menengadahkan tangannya meminta uang. Aku menjulurkan selembar ratusan ribu. Kemudian dia pergi begitu saja. Tanpa kata-kata lagi.  Sekira 5 menitan, datang seorang gadis perempuan berpakaian lusuh. Umurnya mungkin masih 12 tahun, atau mungkin lebih. Dia menengadahkan tangannya. Aku hanya menatapnya sekilas, biasa saja. Tak mempengaruhiku untuk bersimpati.  Mungkin karena aku tak bereaksi, dia pindah ke orang sebelah. Aku mengekorkan mata membuntuti gerak – geriknya. Di situpun dia mendapat tanggapan yang sama. Tak perduli.  Ia pindah lagi ke yang lain. Melakukan hal serupa, meminta-minta. Dan reaksi yang sama didapatkannya. Sepertinya dia mulai putus asa, kemudian berja

Begitu Mudahnya Menulis

Begitu Mudahnya Menulis Oleh: Aidi Kamil Baihaki Malam ini saya terbangun entah karena apa. Mau tidur lagi, kantuk sudah sirna. Iseng saja saya raih handphone yang biasanya memang selalu terselip di bawah bantal yang bersebelahan dengan bantal yang menjadi tumpuan kepala saya saat tidur. Pertama yang saya lakukan adalah mengecek chat grup WA, dan menemukan sharing link dari sang Master, Om Wijaya. Kisah tentang si Yatim yang terabaikan merana, meninggal karena kelaparan melanda. Cukup telat untuk disadari oleh manusia-manusia yang mengaku menyembah Tuhan semesta. Cerita ini begitu menyentuh nurani.  Bukan hanya menyentuh. Ia telah memukulnya! Menjotosnya!  Menendangnya! Menikamnya! https://belajarmenulisbersamaomjay.blogspot.com/2021/02/untuk-kita-renungkan.html?m=1 Begitulah kenyataannya... Masjid di mana-mana telah mentereng dibangun manusia. Fasilitasnya boleh bersaing dengan hotel-hotel bintang 5. Perhatikanlah ketika kita menyusuri sepanjang jalan Pantura Jawa. Ketika lelah, tak s

Dua Kepahitan yang Kupertahankan

Dua Kepahitan yang Kupertahankan Oleh: Aidi Kamil Baihaki   Entah berapa purnama telah menjelang. Walau waktu masih tertata berbaris rapi, tapi aku tak mau menghitung. Adalah hal bodoh jika kita menghitung-hitung sengsara. Tentu saja, karena itu akan berpengaruh pada kualitas syukur yang semestinya lebih banyak kita lakukan.  Pagi ini pun kubuka mata bersamaan dengan mendesiskan ucapan rutin, “Terima kasih Tuhan!” Berkat anugerahNya yang telah memberiku rasa.  Rasa pada lidahku dan rasa pada hatiku.  Rasa pada lidahku, yang jika itu hilang maka mungkin aku telah mengidap suatu penyakit karena virus. Maka selama kita masih bisa mencicip rasa melalui indera pengecap ini, selama itu pula kita patut untuk mensyukuri kesehatan. Apalagi akhir-akhir ini, mati rasa adalah salah satu gejala terjangkit Covid’19. Tak perlu kupilah rasa mana yang harus disyukuri dan rasa mana yang tidak perlu disyukuri. Sama saja! Begitu pula kopi pahit pagi ini, tetap harus kusyukuri kepahitannya.  Kemudian rasa

Bayang Ketakutan (5)

Bayang Ketakutan (5)  Oleh: Aidi Kamil Baihaki Entah pada hari apa tepatnya, Aurel menelpon dan memberitahukan kebutuhan dana untuk mendaftar ujian STIFin. Entah juga apa itu STIFin.  Karena saya menangkap kesan Aurel sangat greget ingin mengikutinya, saya mengabulkan meskipun uang yang dibutuhkannya tergolong besar, Rp. 500.000.  Sebulan kemudian barulah saya tahu tes apa yang diikuti Aurel. Dia menunjukkan sertifikat yang tercetak bolak-balik. Pada halaman depan tercetak nama pemilik sertifikat dan data-data pribadinya, serta seluk beluk tentang tes STIFin dan penemunya. Di halaman sebaliknya, tercantum gambaran hasil tes Aurel. Beberapa keterangan yang saya baca berkaitan dengan hobby, watak, minat, dan prediksi profesi yang sesuai di masa depan. Tapi tentu saja itu akan bisa berubah berdasarkan perkembangan kognitif dan motorik yang bersangkutan.  Di antara informasi itu saya membaca bahwa karir yang sesuai dengan Aurel diantaranya; wartawan, penulis, reporter, penerjemah dan lain

Bayang Ketakutan (4)

Bayang Ketakutan Oleh: Aidi Kamil Baihaki Agustus 2020, Aurel berbenah. Membenahi pakaian yang akan dibawanya ke pondok, sekaligus membenahi hatinya yang mungkin penuh harapan bercampur kecemasan. Saya tidak melihat gelagat yang tak diharapkan pada tingkah lakunya. Masih normal seperti biasanya. Mondok bukanlah keinginan Aurel sendiri, melainkan arahan dari hampir seluruh keluarga. Terutama saya sebagai ayahnya. Walaupun dulu pernah tercetus tekad untuk menjauhkan anak-anak saya dari dunia pesantren. Saat saya mondok dulu, tidak makan sehari semalam adalah hal biasa. Makan nasi putih saja tanpa lauk juga sangat biasa. Dan pengalaman seperti itu tidak akan saya tularkan pada anak cucu kelak. Itulah mengapa saya pernah keceplosan untuk tidak memondokkan anak. Tapi seiring berubahnya nasib, keyakinan saya pun mulai berubah. Tidak mungkin dengan ekonomi cukup seperti saya akan menyebabkan anak mengalami nasib serupa seperti saat saya mondok. Saya yakin sepenuhya. Jauh sebelum keberangkata

Seribu Cara Tuhan

Seribu Cara Tuhan Oleh; Aidi Kamil Baihaki Suatu ketika... Putriku merengek. Dia minta boneka Masha, harganya 25.000. Jika ditawar mungkin hanya 20.000 saja. Itu sesuai jumlah uang dalam dompetku. Dasar pedagang, rengekan putriku membuatnya bersikukuh. Padahal aku masih perlu membeli bensin motor 10.000 jika tak ingin pulang berjalan kaki sambil mendorongnya. Datang seorang ibu tua menggendong anak kecil berumur 4 tahunan. Si anak bukan hanya merengek, tapi juga menangis keras sambil menunjuk-nunjuk pada boneka Beruang seharga 35.000 rupiah. Nampaknya si ibu sudah sangat kewalahan menenangkan si anak, dan si anak sudah tidak mau tawar-menawar lagi. Boneka harus dibelikan! Rengekan putriku terhenti karena perhatiannya tertuju pada si anak kecil. Tawar menawar antara si ibu dengan pedagang terlihat alot. Si pedagang menawarkan boneka lain yang lebih murah, tapi itu membuat tangis si anak menjadi lebih kencang. Si ibu nampak bingung. Rupanya uangnya kurang 10.000 agar bisa mendiamkan tang

Awal dan Akhir Kesumat Ojhung

Awal dan Akhir Kesumat Ojhung Oleh : Aidi Kamil Baihaki Komariyeh menatap anaknya lekat-lekat, penolakannya begitu kuat, “Ibu tetap tidak setuju!”  Mat Tasan tertunduk. Tak berani dia menentang pandangan itu. Tapi tekadnya tak terbendung. “Kalaupun Bapak memang harus menderita, maka dia tak boleh sendirian!” ujarnya gemetar. Seketika mata Komariyeh berkabut. Air suci itu mengalir perlahan dari kedua matanya. “Cong, itu takdir. Andaikan Bapakmu bisa berbicara, dia juga akan melarangmu!” Komariyeh terisak pelahan. “Aku yakin dia tidak menyimpan dendam. Sebab sejak awal bapakmu tahu bahwa itulah resikonya permainan ojhung.” Ah, percuma! Bahkan andaikan Komariyeh mengundang tokoh sekampung untuk memberikan pencerahan, Mat Tasan tidak akan merubah kemauan. Sudah diputuskan, dia harus memperbaiki nama besar bapaknya sebagai Jawara Ojhung. Predikat yang disandangnya sekian tahun hingga akhirnya diruntuhkan oleh Dul Mukti, tahun lalu. Bukan saja Dul Mukti merebut gelar jawara dari Toraji, ba

Ikhlaslah... Bersabarlah...

Ikhlas... Bersabar...  Oleh: Aidi Kamil Baihaki Pak Mus menghubungi saya lewat chat pribadi Whatsapp, ‘Besok anda diminta datang ke Kantor UPTD Dikbudcam, Pak!’ ‘Ada apa kira-kira, ya Pak?’ ‘Anda diminta mendampingi dan melatih murid yang akan mengikuti lomba Olimpiade Sains tingkat kabupaten.’ ‘Aduh, maaf Pak! Minta tolong, sampaikan bahwa saya menolak. Biarlah saya ke sekolah saja!’ ‘Maaf, Pak. Saya hanya menyampaikan. Tapi akan saya beritahu Kepala UPTD bahwa anda menolak.’  Chat berhenti selama 1 jam. Lalu Pak Mus mengirimkan chat berikutnya, ‘Kalau boleh tahu, apa alasan penolakannya, Pak?’ Hmm... Saya tidak segera membalas. Sebenarnya saya tidak terlalu antusias untuk menyatakannya. Sebab jika saya mengatakannya terus terang, pasti akan menimbulkan ketidaknyamanan.  Lima menit kemudian, pesan suara dari Pak Mus saya terima. “Tolong, Pak... Saya butuh alasan untuk disampaikan ke Pak Kepala.” Yah, baiklah...  “Saya belum bisa menerima kenyataan, Pak. Sudah berbuat yang terbaik, mem

Bayang Ketakutan (3)

Bayang Ketakutan (3)  Oleh: Aidi Kamil Baihaki  Menjelang acara perpisahan kelas 6, Aurel ditunjuk untuk tampil di atas pentas memimpin hadirin menyanyikan lagu Indonesia Raya sebagai dirigen. Sendirian!  Ayah dapat merasakan bagaimana tekanan yang membebani Aurel. Sebagaimana ia sendiri pernah juga stres mana kala harus tampil di pentas memberikan sambutan atas nama panitia dalam sebuah acara pengajian umum yang diadakan oleh remaja masjid di lingkungannya.  Tapi kegiatan pisah-kenang ini adalah momen terakhir bagi Aurel di masa sekolah dasarnya. Tak akan ada lagi kesempatan kedua. Itu tidak boleh ditolak.  Ayah memberikan motivasi hampir tiap saat bersama Aurel. Di saat makan, saat jalan-jalan, saat belajar, juga di saat-saat ayah membonceng Aurel sepulang dari sekolahnya. Ayah mendownloadkan beberapa video tutorial gerakan pemanduan nyanyian Indonesia raya. Aurel harus menghapalnya. Sebenarnya bukan dihapal, tapi dimengerti. Toh gerakannya lebih banyak berulang-ulang.  Hari H-1, Aur

Bayang Ketakutan (2)

Bayang Ketakutan (2) Oleh: Aidi Kamil Baihaki. Menjelang akhir bulan Agustus, Kwarran Pramuka Suboh biasanya mengadakan kegiatan Persami yang bernama Tunjungsari. Acara rutin tahunan.  Aurel dipercaya untuk bergabung pada regu Pramuka yang ditetapkan sebagai utusan dari SDN 1 Gunung Malang. Mungkin penunjukan Aurel _beserta regunya_ bisa diharapkan akan mempersembahkan piala dari beberapa lomba yang dilakukan dalam kegiatan Persami tersebut. Setidaknya Aurel diandalkan karena Ayah Aurel adalah salah satu pembina Pramuka di sekolahnya sendiri, Gugus Depan 030. Ada beberapa teori atau praktek kepramukaan yang dikuasai Aurel sebagai bekal untuk memenangkan lomba-lomba yang bersifat perorangan atau pun perwakilan regu. Tapi sayangnya, Aurel justeru menolak kesempatan itu. Kesempatan yang sebenarnya ditunggu oleh banyak teman-temannya. Bisa jadi, karena teman-temannya atau Kakak Pembinanya menumpukan terlalu banyak harapan pada Aurel. Harapan yang nyaris menjadi target itu malah membuat Aur

Bayang Ketakutan (1)

Bayangan Ketakutan Oleh: Aidi Kamil Baihaki  Aurel, puteri kecil yang pemalu. Hampir menutup diri dari pergaulan teman sebayanya. Dia anak pintar, tapi mentalnya terselubung rasa takut. Kelas 4 SD, ayah memintanya pindah sekolah saja. Menurutnya lingkungan sekolah yang baru kelak akan lebih sesuai untuk mengembangkan sikap optimis dan kepercayaan diri. Awalnya Aurel menolak pindah. Dia kuatir tidak akan betah di lingkungan baru. Beradaptasi pada orang baru berarti mengubah kebiasaan menjadi baru. Itu hal sulit. Ayah pun paham hal itu. Tapi tuntutan memberikan pengalaman terbaik agar menjadi anak yang mandiri adalah hal wajib bagi si ayah. Karena setengah dipaksa, akhirnya Aurel bersedia pindah sekolah. Hari pertamanya sangat berat. Anak pemalu yang tiba-tiba menjadi sorotan mata semua guru dan seisi sekolah terasa sangat tidak nyaman. Tentu saja, di manapun, orang baru akan menyita perhatian penghuni lama. Meskipun orang baru tersebut sebenarnya tidak mempunyai keistimewaan apapun. Aya

Totalitas Kebaikan

Totalitas Kebaikan Oleh: Aidi Kamil Baihaki   Bayangkan, ada seseorang yang tidak kita kenal, tiba-tiba datang menghiba minta pertolongan yang berkaitan dengan keuangan. Apa jawaban anda?  Hampir semua jawaban akan mengatakan kita harus lebih dulu mencari tahu apakah orang itu benar-benar patut dibantu atau tidak. Kalau perlu diinterogasi. Tak jarang juga kita malah serta merta menolak. Dulu, saya juga pernah memilih bersikap seperti itu. Berbuat baik pada seseorang karena mengenal orang tersebut. Baik itu karena mengenalnya sendiri atau juga berkat rekomendasi orang lain.  Kenapa ada sedikit persyaratan bahwa bantuan itu sebaiknya diberikan pada orang yang kita kenal?  Pernah saya berpikir bahwa normal saja jika kita membantu seseorang dan berharap orang tersebut terus mengingat kebaikan itu, hingga suatu saat dia akan membalas hutangnya pada kita. Tapi sungguh mengecewakan, orang itu seakan melupakan kebaikan kita.  Timbul pikiran, untuk apa berbuat baik terhadap seseorang jika belum