Langsung ke konten utama

Terganjar Doa Ajaib

Terganjar Doa Ajaib 

Oleh: Aidi Kamil Baihaki 

Lelaki itu duduk terbungkus sarungnya di kursi panjang yang tersedia di sisi jalan lorong masuk menuju deretan kamar perawatan Rumah Sakit. 

Kursi panjang itu terletak di sana bukan untuk tujuan khusus. Mungkin sekedar memberi tempat untuk mereka yang bosan berada dalam kamar perawatan. 

Aku baru saja dari Mushalla Rumah Sakit hendak menggantikan saudara ipar yang menunggui isteri di kamar pasien. 

Sudah sejak adzan Maghrib tadi aku berada di Mushalla. Sudah waktunya untuk menggantikan. 

Ketika sampai di lorong masuk aku melihat laki² itu. Sepertinya sudah lama dia di sana. 

Entah kenapa aku malah ingin duduk pula di situ, lupa bahwa mungkin saja iparku sudah menunggu sejak tadi. 

Dia nampak tidak tertarik untuk menoleh padaku. Sama sekali tidak terusik meskipun aku mengambil tempat di kursi panjang sebelahnya. 

Aku hendak menyapa, tapi ragu. Kuatir malah mengganggunya. 

Hampir sejam berlalu, kesepian membuatku memberanikan diri untuk mengajaknya bicara. 

23.45 WIB. 

“Belum ngantuk, Pak?” Tanyaku berbasa-basi. Tanpa kutanyapun sudah tergambar jawaban pada raut mukanya yang sesekali menguap. 

Bapak itu hanya menoleh sebentar, menawarkan senyumnya yang gagal, malah terlihat menyeringai. 

Kemudian kembali termangu. Lagi-lagi membuatku ragu.

Aku teringat ucapan isteriku saat kami masih pacaran dulu... Waktu itu aku bingung untuk membuat pilihan, antara meneruskan kuliah sambil bekerja paruh waktu atau berhenti kuliah, yang sudah setengah jalan itu, untuk bekerja total. 

Jika meneruskan kuliah mungkin masa depan bisa kuperjuangkan, tapi tidak dengan kedua adikku. 

Orang tuaku sudah renta, penghasilannya hanya cukup untuk makan. Aku bisa membantu kedua adikku melanjutkan sekolah, tapi tentu harus dengan cara fokus pada kerja. 

Pilihan sulit itu tak terasa telah membuat penampakanku berubah lebih sering murung. 

Pacarku segera menyadarinya dan mencoba mengorek. Tapi aku tak ingin berbagi. 

Hingga kemudian dia meyakinkanku, “Dengan bercerita berarti kita sudah menyelesaikan setengah masalah. Apalagi jika kita mendapat saran jalan keluar, maka selesailah setengah bagian lainnya.” Ujarnya. 

Kalimat itu hadir kembali dan membuatku beranjak, pindah ke tempat yang lebih dekat terhadap bapak itu. Duduk di kursi panjang yang sama.

Menyadari gerakanku, dia menoleh. Seketika kutawarkan keakraban dengan keramahan senyuman. 

Aku pun duduk persis di sebelahnya. 

Ya Tuhan... Jarak kami begitu dekat, hingga aku dapat mendengar bunyi perutnya yang keroncongan. 

Buru-buru aku mengambil sebungkus roti yang memang kusiapkan di tas ransel kecil yang selalu kubawa. Kebiasaan yang terus kulakukan agar tidak selalu ke warung untuk makan jika lapar di perjalanan. 

Ketika kuangsurkan roti itu ke hadapannya, bapak itu menatap roti di tanganku bergantian ke wajahku. 

Tangannya sedikit bergerak tapi berhenti. Sepertinya dia perlu kesungguhanku. 

Roti itu kusorongkan lebih dekat, “Terimalah, Pak. Ini saya beli tadi sebelum ke sini.”

“Oh, terima kasih!” sahutnya gugup. Roti itu didekapnya. 

“Maaf, Bapak permisi dulu!” katanya kemudian. 

Dia beranjak dan menyisir lorong yang menuju ruang perawatan. 

Ah, mungkin beliau malu jika memakannya di depan orang yang memberikan. 

2 menit kemudian beliau sudah kembali dengan wajah yang lebih berbinar. Dia kembali ke tempat duduknya semula. 

Tak ada tanda-tanda dia selesai makan. 2 menit adalah waktu terlalu singkat untuk menghabiskan roti tadi, bahkan juga tidak untuk separuhnya. 

“Maaf, rotinya untuk isteri dan cucu saya.” Akunya kemudian. 

Aku terkesiap! 

“Maaf, ya...” katanya lagi. Mungkin dikiranya aku tidak suka rotinya diberikan ke orang lain.

“Oh, tidak apa-apa, Pak. Benar! tidak apa-apa...” Sahutku. 

Bapak itu berusaha tersenyum, meski kenyataannya terlihat lebih pahit dari senyumnya yang pertama. 

Dia mengajakku bersalaman. Lalu berkata, “Mereka belum makan sejak siang tadi...” teramat lirih. 

Ya Tuhan... Kau pertemukan aku dengan orang yang seperti apa? 

Hatiku dipenuhi perasaan campur aduk tak jelas warnanya. Pengakuannya itu membuatku menarik napas lebih berat, sebab tiba-tiba dadaku seperti sesak. Sesuatu terasa mengganjal di tenggorokan, dan itu susah payah kutelan. 

Sedetik kemudian aku menyadari telah menyalami tangan bapak itu dengan genggaman terlalu kuat. 

Aku segera mengajaknya untuk keluar, tentu dengan cara setengah memaksanya.

Kami menuju kantin rumah sakit yang buka 24 jam. Di situ kami makan dan kucari tahu lebih banyak tentang Bapak itu. 

Anak perempuan Bapak itu sudah opname 4 hari. Sakit thypus. Anaknya sekarang statusnya sebagai janda beranak satu, belum sebulan dicerai suami. Dia pulang ke rumah bapaknya, padahal ekonomi bapak itu dibawah kecukupan. 

Dengan kedatangan dua orang, anak yang sakit dan seorang cucu membuatnya lebih kekurangan. 

Dia ke rumah sakit atas saran _paksa_ bidan desa. 

Dengan berat hati dia menjual sepasang kambing yang awalnya diperlakukan sebagai tabungan masa depan. Kambing yang akan dipeliharanya sampai beranak-pinak. 

Dengan uang 2 juta lima ratus hasil menjual kambing, bapak itu mempersiapkan pembiayaan. 

Dia tidak mendaftar BPJS karena menurutnya memberatkan. Ketika kukatakan ada BPJS gratis, bapak ini menggeleng tidak tahu menahu. 

Hmm, itu disebabkan oleh pimpinan yang kurang perhatian pada rakyatnya. 

Tapi... Pimpinan macam ini justeru menduduki posisinya karena dipilih oleh orang-orang miskin, yang suaranya mudah dibeli. Mereka memilihnya karena diberi sembako, uang tunai 50 ribu, kadang _mirisnya_ hanya berupa setumpuk janji murni. 

Yah, murni hanya janji! 

Awalnya bapak itu menyangka anaknya hanya akan opname 2 hari. Ternyata lebih! 

Uang yang dipersiapkannya sudah berkurang 500 ribu dalam 4 hari ini untuk beberapa keperluan dan makan. 

Petang tadi, dokter sudah memperbolehkan pulang. Rincian pembiayaan mencapai dua juta lima ratus ribu. 

Bapak ini bermaksud hendak pulang lebih dulu dan mencari pinjaman untuk kekurangannya. 

Saat bersiap pulang, barulah dia menyadari uang yang tersisa 2 juta lenyap dari tas. Bapak itu berusaha menyembunyikan apa yang terjadi. Dia pamit ke anak isterinya untuk pulang menjemput kekurangannya yang 500 ribu. 

Hanya pura-pura pulang! 

Sebab sebenarnya dia bingung, tidak punya ongkos sama sekali.

Jadi sejak Maghrib dia keluar, mendekam di Mushalla hingga jam 22.30 WIB. Entah kenapa aku tidak melihatnya tadi di sana. 

Setelah dikiranya anak isterinya sudah tidur, barulah ia kembali. Itupun hanya sampai di lorong tadi. 

Saat dia memberikan roti ke isteri dan cucunya tadi, tidak secara langsung. Dititipkannya pada perawat yang kebetulan mau masuk ke ruang perawatan. 

Dia, isteri dan cucunya makan terakhir kali siang tadi. 

“Oh ya, nama Bapak siapa?” tanyaku. 

“Bin Sardi !” jawabnya. Mulai terasa bersemangat. Berbeda dengan kondisi sebelumnya, terutama saat di lorong tadi. 

“Kalau namamu, siapa?” Dia balik bertanya. 

Aku pura-pura tidak mendengar pertanyaannya. Aku mengalihkan pada hal lain, “Kalau Bapak belum mengantuk, cobalah sekarang ke Mushalla lagi. Berdoalah sepenuh hati semoga Allah memberikan jalan keluar. Yakini, Pak! Allah Maha Mendengar dan Maha Kuasa.” Kataku mencoba menenangkan.

“Dan saya juga minta tolong untuk didoakan agar isteri saya yang sakit segera sembuh. Saya yakin doa orang-orang lemah seperti Bapak sangat mustajab!” sambungku. 

Aku merogoh ke saku tas ransel. Mengambil beberapa lembar dari dompet. “Ini, untuk ongkos Bapak pulang, besok...” 

Sungguh, aku tidak ingin membuat bapak itu menganggapku lebih dari sekedar orang yang baru dikenal. Itu lebih baik untuk menjaga perasaannya agar tidak terbebani hutang budi. Sehingga sama sekali aku tidak menyebut nama. 

Aku menyodorkan beberapa lembar uang yang cukup untuk ongkos pulang sekeluarganya, dan sedikit lebih. 

“Dan nanti, setelah di rumah... carilah pinjaman untuk kekurangan biaya rumah sakit. Saya doakan semoga ada jalan keluarnya,” tambahku. 

Aku segera bergegas dari sana, pura-pura terburu-buru dengan beberapa kali melihat jam tangan. 

Langsung kutuju ruangan isteriku dirawat, meninggalkan lelaki itu yang masih tertegun dalam kebengongannya. 

*** 

Begitu masuk ke kamar di mana istriku dirawat... 

“Kondisi Mbak pulih lebih cepat sekarang, Mas.” Ujar adikku yang ternyata sudah berada di dalam ruang kamar perawatan, mengecek kondisi terakhir pasien. 

Iparku nampak mengantuk duduk di kursi di sebelah ranjang pasien. 

Adikku menjadi kepala dokter di rumah sakit ini.

“Sepertinya besok sudah bisa pulang!” Katanya lagi dengan wajah gembira, tapi hampir tak percaya. 

Aku juga heran. Kok bisa secepat itu? Padahal sebelumnya adik memperkirakan butuh perawatan setidaknya selama seminggu. 

Lah, ini baru 2 hari. Apalagi selain karena keajaiban?

Kemudian kuceritakan tentang pertemuan dengan bapak Bin Idris tadi. Adikku menyimak dengan sepenuh hati. 

Kutanyakan kepastian dari pradugaku, “Mungkin bapak tadi memang memenuhi permintaanku untuk didoakan. Dan itu mustajab?” 

Adikku terdiam, kemudian mengangguk setuju. 

“Bisa jadi begitu”, ujarnya. 

Sejenak aku berpikir. Lalu kumohonkan agar biaya untuk anak Bin Idris ‘dihitung ulang’.

Lagi-lagi adikku mengangguk setuju. Bahkan dia bersedia menanggungnya bersama denganku. Iuran! 

Alhamdulillah! 

Tuhan memang Maha Kuasa. Ia meringankan sakit isteriku pasti berkat doa laki-laki di lorong tadi. 

Tapi sepertinya aku tak perlu mencarinya untuk memastikannya, ataupun untuk berterima kasih. 

Biarlah Tuhan yang menyampaikannya. Dan biarlah, aku tak perlu bertemu dengannya lagi. 

Toh, urusannya dengan Rumah Sakit ini sudah selesai. Besok pagi-pagi sekali dia dan keluarganya pasti akan sudah pulang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Galeri Ramadhan

Pondok Ramadlan SDN 3 Buduan 30 Maret 2023  SDN 3 Buduan Suboh, yang awalnya merencanakan akan melakukan kegiatan Pondok Ramadhan pada tanggal 17-19 April 2023, sesuai anjuran Dinas Pendidikan Kabupaten Situbondo, akhirnya memajukan pelaksanaan pada hari ini, Kamis 30 Maret hingga 2 April 2023. Bpk. Abdi Rasa menjadi ketua panitia kegiatan Pondok Ramadhan karena beliau adalah guru PAI di sekolah ini. Sekretaris kegiatan adalah Bpk. Lutfi Aziz, dan bendahara adalah Bpk. Aidi Kamil Baihaki. Kegiatan diawali dengan pelaksanaan shalat dhuha berjamaah. Kemudian dilanjutkan dengan seremonial pembukaan kegiatan, dipimpin oleh Ibu Rumiyati selaku kepala sekolah SDN 3 Buduan, dan doa dipimpin oleh Bpk. Lutfi Azis. Berlanjut dengan pemberian  wawasan tentang materi puasa, oleh Bpk. Abdi Rasa. Selesai materi di kelas, siswa melaksanakan tadarrus Al-Qur'an dengan dibagi menjadi kelompok putera dan kelompok puteri. Setiap siswa membaca 4 ayat dari Al-Qur'an secara bergantian. Teman yang lai

Kelas 5-ku

Selasa, 19 Juli 2022, hari kedua saya di SDN 3 Buduan. Tadi saya mengetes kemampuan siswa menulis dan membaca bilangan. Hanya tiga siswa yang salah menulis bilangan ratusan. Lima ratus enam ditulis 5006. Mayoritas siswa bisa melakukan dengan benar. Dalam kemampuan membaca bilangan, nilai tempat tertinggi yang bisa dibaca hanyalah puluh ribuan. Tidak ada yang bisa membaca bilangan 213458, mereka nampak bingung. Padahal Elit yang masih TK sudah bisa membaca bilangan hingga milyaran. Saya menuliskan 123456789 di papan tulis. Saya minta mereka menyebutkan bilangan tersebut, jika benar akan mendapat hadiah. Tidak ada yang mau menjawab. Sekedar memberanikan diri untuk coba-coba juga tidak ada. Entah karena status saya sebagai guru baru yang membuat mereka agak canggung, atau memang ada masalah mental di sini. Dengan penuh keyakinan saya katakan, "Hari ini kalian akan bisa membaca bilangan ini. Hanya dalam satu-dua menit saya ajarkan." Saya letakkan titik di setiap tiga digit di bil

Hanya Iseng

 Lazisnu Mlandingan bersama jajaran pengurus di MWCNU Mlandingan dan semua Ketua dan Sekretaris Ranting NU di kecamatan Mlandingan melakukan kegiatan NU Berbagi pada Rabu 27 April 2022, jam 16.00 WIB di sekretariat MWCNU Mlandingan. Dokumentasi resmi bisa dikulik pada Blog NU Mlandingan Online di semua platform media sosialnya. Di sini saya hanya menempel jepret kamera hasil keisengan saja. Saya mengedit kembali semua hasil rekaman agar lebih menarik, sekaligus mencoba untuk mengakrabi fitur-fitur penyerta di hape Vivo Y51 yang baru saya beli sekitar sepuluh hari yang lalu. Saya mengeditnya sambil tertawa-tawa sendiri, ternyata banyak hasil jepretan yang lucu. Tiba-tiba timbul niat mempostingnya untuk berbagi tawa dengan pengunjung blog saya. Semoga mereka yang terekam tidak marah pada saya. Karenanya, saya mohon maaf jika ada yang tidak berkenan.  Ampunilah saya! Walau ngantuk, tetap hadir karena jiwa militan Selalu ada tawa di setiap kebersamaan Berkiprah tak harus kaprah Niatnya sel