Seribu Cara Tuhan (2)
Oleh: Aidi Kamil Baihaki
Jam 12.30 WIB.
Isteri dan anakku turun dari mobil. Mereka mau berbelanja di pasar Besuki. Aku hanya mengantarnya ke Terminal, di situ aku duduk menunggu. Di bangku yang disediakan bagi calon penumpang yang menunggu bus datang.
Belum sepuluh langkah, anakku berbalik arah. Menengadahkan tangannya meminta uang. Aku menjulurkan selembar ratusan ribu. Kemudian dia pergi begitu saja. Tanpa kata-kata lagi.
Sekira 5 menitan, datang seorang gadis perempuan berpakaian lusuh. Umurnya mungkin masih 12 tahun, atau mungkin lebih. Dia menengadahkan tangannya.
Aku hanya menatapnya sekilas, biasa saja. Tak mempengaruhiku untuk bersimpati.
Mungkin karena aku tak bereaksi, dia pindah ke orang sebelah. Aku mengekorkan mata membuntuti gerak – geriknya. Di situpun dia mendapat tanggapan yang sama. Tak perduli.
Ia pindah lagi ke yang lain. Melakukan hal serupa, meminta-minta. Dan reaksi yang sama didapatkannya.
Sepertinya dia mulai putus asa, kemudian berjalan ke arahku dan duduk di bangku sebelahku yang memang kosong.
Bus jurusan Surabaya memasuki terminal untuk menurunkan dan menaikkan penumpang.
Gadis kecil di sebelahku segera berdiri dan memasuki bus. Berjalan di lorongnya menghampiri setiap penumpang. Ketika gadis kecil itu turun, wajahnya terlihat sedikit kecewa.
Aku masih belum bersimpati pada gembel kecil itu. Menurutku ia hanya mencari ceperan, hasilnya hanya untuk jajan. Atau mungkin dia disuruh orang tuanya untuk bekerja mengemis, sekedar memanfaatkan waktu agar tidak hanya habis untuk bermain.
Gadis kecil itu kembali menuju tempat duduk di sebelahku yang masih juga kosong.
Aku melihat ke arah tertentu agar bisa meliriknya lebih jelas. Nampak perempuan kecil ini meringis. Tangannya memegangi bagian perutnya. Ada seruan ‘aduh’ yang disembunyikannya. Tak bersuara, tapi aku mendengarnya dengan jelas melalui mataku.
“Kamu masih bersekolah, ya?” tanyaku.
Si kecil ini tak menoleh, tapi mengangguk kecil. Matanya jelalatan seperti kebingungan mencari seseorang.
“Adik kenapa?” Aku mulai menaruh kekuatiran ketika wajahnya mulai menegang menahan kesakitan.
Dia menoleh sebentar, mendesiskan kata sakit pada bagian perutnya.
“Oh, sudah makan?”
Gadis itu menggeleng lemah.
Ya Tuhan, sudah setengah hari belum makan?
Aku segera merogoh uang di saku celana. Recehan kecil uang kembalian saat membeli rokok di warung tadi. Aku memilihkannya sepuluh ribuan.
“Ini, carilah makanan dulu!” Aku menjulurkannya.
Ia langsung menerimanya dengan senang hati.
“Terima kasih, Om. Terima kasih, ya?” ucapnya.
“Iya. Cepatlah sana. Pasti sakitnya nanti segera hilang!”
“Iya, Om. Terima kasih!”
Dia segera berlari menuju penjual nasi kucing di ujung peron.
Dari pintu keluar pasar aku melihat isteri dan anakku muncul bergandeng tangan. Menenteng dua tas kresek besar belanjaan. Aku beranjak menjemputnya. Menggantikan membawa barang-barang.
Tapi aku tak segera pulang, masih mampir... Duduk lagi di bangku yang tadi.
Suasana terminal ini selalu kusuka. Menunjukkan betapa sibuknya manusia.
Si Gadis kecil kemudian melintas lagi di depanku.
“Terima kasih Om, ya?” ujarnya untuk keempat kalinya.
Isteri dan anakku menoleh padanya. Kemudian mereka juga menoleh padaku, memasang wajah tak habis mengerti dan rasa penasaran.
“Sebentar...!” Aku melambaikan tangan pada gadis itu. Kemudian meminta selembar dua puluah ribuan pada isteri. Kuberikan padanya.
“Jaga diri baik-baik, ya? Rajinlah belajar!” kataku.
Matanya berbinar. Beberapa ucapan terima kasih kembali terdengar.
Aku berdiri meninggalkan bangku, memberinya tempat agar si kecil itu duduk di situ.
Kami berbicara beberapa lama.
Ternyata... gadis kecil ini hanya meminta-minta saat sangat butuh saja. Kali itu dia ingin mengganti sepatu lamanya yang sudah sobek memamerkan jempol kakinya. Orang tuanya hanya mampu menjaga agar ia tidak kelaparan saja. Beberapa barang kebutuhan yang tak terjangkau untuk dibelikan orang tua, ia mencarinya dengan cara meminta-minta.
Hatiku terusik. Kasihan.
Tiba-tiba terlintas bayangan tadi, ketika anakku mendapatkan seratus ribu... Tak kudengar ucapan terima kasih meskipun hanya untuk sekedar basa-basi. Tapi si kecil ini, dengan hanya sepuluh ribu sudah sebegitu berterimakasihnya.
Memang situasinya berbeda. Anakku... Sekali meminta langsung diberi. Sementara gadis itu, telah menggilir beberapa orang. Meminta berkali-kali dan akhirnya diberi.
“Tuhan bukan mengacuhkanmu jika doa yang kamu panjatkan tidak segera terwujud,” ujar bapakku dulu. “Ia hanya sedikit mengulur waktu, agar kamu benar-benar sudah memintanya. Itu supaya kamu tidak lupa mensyukurinya.”
Ternyata memang benar, jika kita selalu mudah mendapatkan apa yang kita harapkan, justeru kita menjadi lupa untuk berterima kasih. Tapi jika kita mendapatkan apa yang kita harapkan setelah berulang-ulang memintai-Nya... Rasa syukur itu seperti otomatis muncul dari hati kita. Seperti yang dilakukan si Gadis kecil tadi.
Demikianlah cara Tuhan menyayangi hambanya. Meskipun tak sedikit yang tidak menyadarinya.
Ia memberi ketika kita hampir putus asa, bukan karena Ia mengacuhkan kita. Melainkan agar kita benar-benar berterimakasih atas pemberian-Nya.
Kadang pula, Dia memberikan hal yang tidak kita minta. Kita berharap A, yang diwujudkannya adalah B. Karena sebenarnya Tuhan memberikan apa yang kita butuhkan, bukan apa yang kita inginkan. Dan Tuhan Maha Mengetahui atas segala yang sebenarnya kita perlukan. Aku berbisik pada isteriku, kuselipkan beberapa lembar uang ke tangannya. Dia segera beranjak sambil menggamit tangan gadis kecil itu, mengajaknya masuk ke dalam pasar. Aku dan anakku menunggu di terminal.
Komentar
Posting Komentar