Langsung ke konten utama

Merantau Kembali

Merantau Kembali

Oleh: Aidi Kamil Baihaki

Senyum tipisnya itu bagiku ibarat kanopi. Menaungi dari panas dan memayungiku dari hujan. Di bawahnya, aku tak pernah merasa kepanasan, juga tak pernah merasa kedinginan. 

Kupastikan kalian tak akan memahami sebetapa indah serta sebegitu berharga lesung pipitnya. Sebab takaran penilaian setiap orang pastilah berbeda, disesuaikan dengan dari sudut sebelah mana ia melihat. 

Sementara sudut pandang cinta... Telah banyak membuat seseorang buta. 

Atau mungkin membabi buta? 

Mariani, nama biasa yang membalut penampakan jasad luar biasa. Nyaris kuanggap jelmaan peri dari dunia dongeng. Menjadi tambatan hati sejak pandangan pertama. Mengobarkan nyala kasmaranku seperti kobaran kebakaran hektaran hutan korban kemarau panjang. 

Ia benar-benar istimewa sedemikian rupa.

______________ 


Coba keluarlah kalian dari kamar, untuk mendengarkan celoteh burung di dedahanan. Saksikan suasana awal hari berlatar semburat sinar pagi, dan akan membuat kalian berdecak, oh indahnya pagi! 

Kemudian sore nanti, coba sempatkanlah pula untuk melipir di sisi pantai. Temuilah senja yang bermahkota jingga, tersaji di kaki langit yang menjelang gelap. Pasti kalian akan berkata, betapa indah sore hari! 

Fajar bisa lebih cantik dari senja, dan senja bisa lebih menarik dari fajar. Tergantung bagian mana yang kita nikmati terakhir kali. 

Demikianlah subjektifnya penilaian hampir semua manusia. 

Ya, begitulah. 

Pagimu cantik, senjamu menarik. Tapi tidak begitu dengan gadisku. Ia lebih cantik dari sekian orang yang menarik, dan ia lebih menarik dari sekian orang yang cantik. 

Kalau kalian bingung dengan kalimatku ini, demikianlah keadaanku yang bengong karena daya magnetis Mariani, sosok yang tak memberiku kesempatan supaya bisa menggesernya dari status ‘segalanya’.

______________


Dia terisak lemah ketika niatku tak bisa dipaksa berbalik arah. 

Saat itu, menikung sedikit saja bagiku adalah kesalahan. Tujuanku harus lurus melempeng. Tekad telah kutegaskan bulat-bulat, tak mau menerima lagi situasi tawar menawar; Aku harus jauh-jauh pergi, sebisanya jauh-jauh hari. 

Benar, aku harus berlalu dari sementara waktu. Meraba-raba nasib dengan mengais di hamparan kesempatan _yang sebenarnya lebih terasa sebagai kesempitan_ demi menemukan remah-remah yang harus kutimbun menjadi segudang roti. 

Kukumpulkan remah sebanyak mungkin sebagai bekal untuknya, untukku dan _nantinya_ untuk anak-anak kami. 

Betapa impian itu indah bukan? Walaupun kemudian hari aku sadari justeru menyengsarakan. 

Aku merantau sejauh kubisa. Mengejar bayang yang ternyata terus bergerak. Semakin kukejar, ia semakin berlari. Aku tak perduli, sebab menurutku menyerah adalah dosa tak termaafkan. 

Aku terus bergegas lekas. Aku terus berlari tanpa peduli. Tak pernah ada niat sejenak pun sesekali menepi. Aku asyik sendiri memburu mimpi.

________________


Entah berapa lama... Meski aku merindukannya, Mariani tak pernah kuhubungi. Semangat keyakinanku terlalu kuat bahwa ia pun pasti menanti. 

Kepercayaanku pada Mariani, tak menyisakan ruang secuilpun untuk curiga. Tak ada ruang, pun tak ada waktu. 

Kukira tak perlu kuceritakan merantauku berapa lama, yang jelas kulitku yang dulu agak langsat telah berubah gelap gosong. Rambutku yang dulu cepak, entah sudah berapa tahun menjadi gondrong. 

Penampilanku sudah lama banyak berubah. Tapi hatiku masih tetap seperti dulu. Masih merajut angan mengukir masa depan. Berjuang bermandi keringat yang _kupercaya_ tak pernah kusesalkan. 

Kalian tak akan tahu seberapa tinggi harapanku, belum pernah aku mengukurnya. Yang aku mengerti hanyalah... harapanku itu setimpal dengan seberapa dalam rindu yang kubenam karam. Karenanya, walaupun rindu ini timbul tenggelam, ia masih bertahan menggantung pada harapan yang menjulang. 

Aku sendirian, bertahan terus dalam sunyi, berharap kelak kenyataan kami menjadi seindah mimpi. Tergambar nyata tiga dimensi melalui doa-doa yang ratusan ribuan jutaan kurapalkan. 

Hingga kemudian, tanah seberang tega mengusirku pulang karena pandemi yang tak terelakkan. Semua pendatang, wajib segera pulang. 

Harusnya aku bersyukur telah dipaksa situasi untuk kembali, menjenguk kampung halaman yang pasti sudah berbeda penampakan. Menamatkan segala cerita rantauku tentang banting tulang. Toh, bekal yang kukumpulkan memang sudah cukup untuk mewujudkan rencana meminang. 

Mariani... 

Dia menyambutku dengan kehangatan. Memelukku erat. Membisikkan sebuah pertanyaan, “Kau pulang demi aku?” 

Belum sempat aku menjawab, lamunanku buyar menyisakan senyum-senyum sendiri. 

________________

Tak sengaja, ketika hari pertama kepulangan aku bertemu gadis yang telah merebut seluruh rasa dan cita-citaku itu tanpa sisa. Ia yang memborongnya. Semuanya! 

Aku segera mengenali Mariani dari jarak lebih seratus meter. Jarak sedemikian itu sebenarnya masih terlalu dekat supaya hati ini tidak berdenyut-denyut berdegupan. 

Penampilannya sama sekali belum berubah. 

Penampakan anggun yang tersusun dari tulang dan daging berlapis pakaian itu masih seperti sebagian besar yang kuingat. Sungguh masih pantas untuk terus kujadikan pujaan.

Setelah kami sudah makin dekat, sebegitu dekat sehingga bisa kulihat dua lobang kecil di lesung pipinya... 

Segera kupajang senyum yang kutata sejak awal perjalanan pulang. Menyongsong pertemuan lebih cepat dari yang kukira. Tak sengaja. Dan memang tak kusangka. 

Mariani membalas senyumku. Tapi... dengan gersang. 

Senyumnya mengembang dan tak bertahan lama tiba-tiba layu. 

“Aku pulang!” Ujarku gamang. 

Mariani membuang muka, seperti sikap seseorang yang menyesal telah tak sengaja melihat sesuatu yang menjijikkan. 

Ia memandang kosong sejauh batas cakrawala. Bahkan menembusnya. 

Aku patut resah ketika pertemuan ini tanpa sambutan senyumnya yang renyah. Menimbulkan tanya ... Apa perawakanku sudah benar-benar berubah? 

Apakah tadi senyumnya hanyalah reaksi reflek akibat aku lebih dulu tersenyum padanya? 

Apa memang Mariani telah lupa? 

Berikutnya... 

Sepertinya ia mencoba melawan tatapanku. 

Aku rasa matanya menatapku tak wajar. Walau itu mungkin hanya dugaan sekilas saja. 

Kemudian... Ia tak mampu bertahan dari balasan tatapan tajamku yang penuh selidik dan menginterogasi. Tatapan yang 90 persen mengandung rasa penasaran dan menuntut jawaban jujur dengan segera. 

Ia terlihat bimbang berbau ketakutan. Lalu akhirnya tertunduk pasrah dalam bersalah. 

Awalnya aku tak paham. Menurutku sikapnya begitu karena tak pernah menyangka kepulanganku yang memang bernuansa kejutan. 

Tapi... akhirnya aku luruh tak bertenaga, ketika seorang laki-laki menggamit tangannya dan mengajak pergi. 

Lututku bergetar. Mataku berkunang-kunang. Harapan musnah, terbang dan menghilang. 

Kukatupkan mata sekuatnya agar tak usah melihat mereka berdua, Mariani dan laki-laki itu pergi ke mana. 

_______________

Patutkah aku menyesal?

Bukan, aku tak bermaksud bertanya pada kalian. Karena sebenarnya aku tak menunggu jawaban. Itu hanyalah pertanyaan yang tak ingin kuhiraukan. 

Masih banyak sisi yang bisa dijadikan alasan untuk tetap bersyukur. Misalnya... Aku beruntung terhindar dari perempuan yang tak mengenal kesetiaan.

Puluhan alasan kususun untuk membangun kekuatan, agar pondasi hati ini tak rapuh karena pengkhianatan. 

Agar kebencian tidak benar-benar meracuni, kuumpat diri diri sendiri... “Semua karena salahmu sendiri!” 

Aku berusaha tegar meski bergetar. Aku tak boleh gentar walaupun getir, harus meyakini bahwa pahit ini bukan sesuatu yang terpahat. Tak akan butuh waktu terlalu lama, besok pasti hilang terkikis arus waktu. Mungkin esoknya lagi... Atau esoknya lagi. 

Tak akan abadi. 

Tak perlu kalian tanya bagaimana perasaanku. Sungguh, tak perlu! Biar aku menyimpannya saja, sendiri. 

Aku kembali dari tanah rantau untuk kembali merantau... 

Ya... Berikutnya aku akan merantau ke masa silam. Demi mengais sisa mimpi, ketika dirinya yang lama adalah milikku. 

Mariani... 

Tak mengapa. Cukuplah aku memilikimu di waktu rantau masa lalu. 

Bagi seorang laki-laki, kepahitan bukan untuk dijalani. Melainkan untuk dihadapi.

Saatnya membuat perhitungan secara ksatria; Aku ataukah Kegetiran yang akan kalah sakti. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Galeri Ramadhan

Pondok Ramadlan SDN 3 Buduan 30 Maret 2023  SDN 3 Buduan Suboh, yang awalnya merencanakan akan melakukan kegiatan Pondok Ramadhan pada tanggal 17-19 April 2023, sesuai anjuran Dinas Pendidikan Kabupaten Situbondo, akhirnya memajukan pelaksanaan pada hari ini, Kamis 30 Maret hingga 2 April 2023. Bpk. Abdi Rasa menjadi ketua panitia kegiatan Pondok Ramadhan karena beliau adalah guru PAI di sekolah ini. Sekretaris kegiatan adalah Bpk. Lutfi Aziz, dan bendahara adalah Bpk. Aidi Kamil Baihaki. Kegiatan diawali dengan pelaksanaan shalat dhuha berjamaah. Kemudian dilanjutkan dengan seremonial pembukaan kegiatan, dipimpin oleh Ibu Rumiyati selaku kepala sekolah SDN 3 Buduan, dan doa dipimpin oleh Bpk. Lutfi Azis. Berlanjut dengan pemberian  wawasan tentang materi puasa, oleh Bpk. Abdi Rasa. Selesai materi di kelas, siswa melaksanakan tadarrus Al-Qur'an dengan dibagi menjadi kelompok putera dan kelompok puteri. Setiap siswa membaca 4 ayat dari Al-Qur'an secara bergantian. Teman yang lai

Hanya Iseng

 Lazisnu Mlandingan bersama jajaran pengurus di MWCNU Mlandingan dan semua Ketua dan Sekretaris Ranting NU di kecamatan Mlandingan melakukan kegiatan NU Berbagi pada Rabu 27 April 2022, jam 16.00 WIB di sekretariat MWCNU Mlandingan. Dokumentasi resmi bisa dikulik pada Blog NU Mlandingan Online di semua platform media sosialnya. Di sini saya hanya menempel jepret kamera hasil keisengan saja. Saya mengedit kembali semua hasil rekaman agar lebih menarik, sekaligus mencoba untuk mengakrabi fitur-fitur penyerta di hape Vivo Y51 yang baru saya beli sekitar sepuluh hari yang lalu. Saya mengeditnya sambil tertawa-tawa sendiri, ternyata banyak hasil jepretan yang lucu. Tiba-tiba timbul niat mempostingnya untuk berbagi tawa dengan pengunjung blog saya. Semoga mereka yang terekam tidak marah pada saya. Karenanya, saya mohon maaf jika ada yang tidak berkenan.  Ampunilah saya! Walau ngantuk, tetap hadir karena jiwa militan Selalu ada tawa di setiap kebersamaan Berkiprah tak harus kaprah Niatnya sel

Kelas 5-ku

Selasa, 19 Juli 2022, hari kedua saya di SDN 3 Buduan. Tadi saya mengetes kemampuan siswa menulis dan membaca bilangan. Hanya tiga siswa yang salah menulis bilangan ratusan. Lima ratus enam ditulis 5006. Mayoritas siswa bisa melakukan dengan benar. Dalam kemampuan membaca bilangan, nilai tempat tertinggi yang bisa dibaca hanyalah puluh ribuan. Tidak ada yang bisa membaca bilangan 213458, mereka nampak bingung. Padahal Elit yang masih TK sudah bisa membaca bilangan hingga milyaran. Saya menuliskan 123456789 di papan tulis. Saya minta mereka menyebutkan bilangan tersebut, jika benar akan mendapat hadiah. Tidak ada yang mau menjawab. Sekedar memberanikan diri untuk coba-coba juga tidak ada. Entah karena status saya sebagai guru baru yang membuat mereka agak canggung, atau memang ada masalah mental di sini. Dengan penuh keyakinan saya katakan, "Hari ini kalian akan bisa membaca bilangan ini. Hanya dalam satu-dua menit saya ajarkan." Saya letakkan titik di setiap tiga digit di bil