Langsung ke konten utama

Belajar Membaca

Belajar Membaca 

Oleh: Aidi Kamil Baihaki 

Dulu ketika saya masih menjadi kuli bangunan, pekerjaan rutin sangat memforsis tenaga. Mulai jam 07.00 - 12.00 WIB dan berlanjut ke jam 13.00 - 16.00 WIB. Setiap hari dan kadang tak mengenal libur hingga sebulan penuh. Apalagi jika sistem kerjanya adalah borongan, bekerja diburu waktu karena menginginkan upah segera dibayarkan. 

Di sinilah saya selalu berpikir untuk bekerja efektif dan efisien. Efektif artinya mencari cara termudah untuk melakukan hal-hal yang sekalipun sulit, dan efisien berarti menggunakan sedikit tenaga dan waktu tetapi hasil pekerjaan lebih banyak. 

Prinsip efektif dan efisien ini tidak begitu saja muncul atau dilakukan karena ada yang menyuruh. Benar-benar berangkat dari pemikiran karena sebagai kuli yang rutinitas hariannya memeras tenaga, _apalagi kuli kerja borongan_ menginginkan pekerjaan segera diselesaikan tanpa harus menguras tenaga. 

Bayangkan, pekerjaan yang seharusnya diselesaikan dengan cara biasa selama 10 hari, kelar dalam seminggu. Berarti saya bekerja tujuh hari dengan bayaran 10 hari. Kerja yang 3 hari itu dilakukan lembur mulai jam 19.00 – 22.00 WIB. 

Menguntungkan tapi ngoyo! 

Jika terlalu sering, akibatnya ... begitu menerima upah, tubuh menuntut dipijat, beli jamu, atau melakukan terapi-terapi fisik lainnya agar terus dapat bekerja. 

Nyatanya... bekerja seminggu, sakit 3 hari. Dibayar seratus ribu, digunakan untuk merawat fisik 50 ribu. Berarti percuma juga kerja dengan cara balapan jika upah yang _tersisa dan_ bisa dinikmati sama saja dengan kerja biasa. 

Misalnya... salah satu kerja tukang batu adalah menyusun batu bata. 

Cara pertama; Sekali gerakan menuangkan adonan pasir semen ke susunan bata sebelumnya, dan sekali gerakan menyusun bata di atas adonan tersebut. Dua gerakan ini berulang-ulang ratusan kali hingga tersusunlah sebuah tembok. 

Saya mencoba melakukan cara kedua; gerakan pertama berulang hingga sepuluh kali _menuangkan adonan pasir dan semen lebih memanjang, kira-kira hingga 2,5 meter. Kemudian melakukan gerakan kedua juga berulang hingga 10 kali, yaitu meletakkan bata baru di atas adonan pasir semen pada gerakan pertama. 

Ternyata kalkulasi waktu cara yang pertama dan kedua berbeda. Cara kedua lebih hemat 10 detik. 

Memang tak seberapa! Tapi bukan tak seberapa jika dilakukan hingga ratusan, apalagi ribuan kali. 

Melakukan pekerjaan secara efektif dan efisien ini ternyata sangat bermanfaat ketika mengerjakan soal tes CPNS. Tes Tulis dengan jumlah 150 soal hanya diberi kesempatan dijawab dalam 2 jam. Jadi kira-kira tiap soal harus dikerjakan dalam 1 menit lebih. 

Dari 100 soal itu terdiri dari soal yang mudah, agak sulit dan sangat sulit, tersusun secara acak. Teman saya mengerjakannya secara berurutan dari nomer pertama hingga terakhir. Kadang dia bisa menjawab dengan cepat tidak lebih dari 1 menit, kadang harus berkutat pada satu soal dalam 10 menit. 

Ketika waktu berlalu 2 jam, dia masih mengerjakan setengah dari seluruh jumlah soal, sebab ternyata soal-soal awal lebih banyak yang berlevel agak sulit dan sangat sulit. 

Saya mengerjakan tes tersebut secara acak. Ketika mendapati soal yang mudah, langsung dijawab. Jika soalnya sulit, saya lewatkan.

Ternyata 60 persen dari jumlah soal sudah saya kerjakan dalam 1 jam dengan jawaban pasti benar! Karena memang soalnya mudah.

1 jam berikutnya yang tersisa saya gunakan untuk menjawab soal-soal yang jawabannya masih bisa dicari dengan berpikir lebih lama. Ini membutuhkan waktu setidaknya 40 menit. 15 menit saya gunakan untuk mengecek kembali jawaban-jawaban dari pertanyaan yang sulit itu. Dan sisanya 5 menit saya gunakan untuk menjawab soal secara membabi buta, karena memang tidak bisa menjawabnya. Yang penting tidak ada jawaban kosong. 

Di sekolah, saya mengajari siswa menghapalkan perkalian. Ketika saya masih di sekolah dasar, guru mengetes hapalan dengan cara siswa berdiri di depan kelas dan guru menyimak kata-kata siswanya, “Satu kali lima, lima. Dua kali lima, sepuluh. Tiga kali lima, lima belas. Empat kali lima, dua puluh ... .” Dan seterusnya. 

Cara seperti di atas bagi saya kurang efisien. Saya cukup meminta siswa menyebutkan bilangan secara kelipatan, “Lima, sepuluh, lima belas, dua puluh, dua puluh lima ... .” sambil membuka jarinya satu-persatu. Jangan tanya berapa perbandingan waktu yang berhasil diefisienkan. 

Begitupun dalam belajar membaca, prinsip efektif dan efisien saya diterapkan. Saya lakukan dalam membelajarkan Elit. Umur 3 tahun dia sudah hapal nyanyian tentang alfabet. Usia 3,5 dia sudah tahu menyebut dan menunjukkan huruf. Pada usia keempat, akhir-akhir ini, Elit saya ajari membaca. 

Banyak guru yang masih terpengaruh cara belajarnya sendiri ketika masih di bangku sekolahnya. Model tradisional, meniru cara guru mereka mengajar di masa lalu. 

Khususnya dalam belajar membaca, mereka menggunakan cara mengeja. 

Be-U... Buuu, De-I... Diii... Buudii... 

We-A... Waaa, Te-I... Tiii... Waatii... 

Alhamdulillah Elit sudah bisa membaca walaupun masih terbata-bata berkat belajar dengan mengadaptasi Metode Iqro’. Ini sudah melampaui kemampuan rata-rata anak seusianya. 

Metode Iqro’ dikenal dan digunakan dalam pengajaran membaca huruf Hijaiyah dalam Alqur’an oleh KH. As’ad Humam, dikembangkan bersama Balai Penelitian dan Pengembangan Sistem Pengajaran Baca Tulis Al-Qir’an, LPTQ Nasional di Yogyakarta dan Team Tadarus “AMM” Kotagede, Yogyakarta.

Belajar membaca huruf latin menggunakan metode ini sama dengan belajar membaca suku kata. Hanya saja terdapat tahapan dan fokus tertentu yang guru melarang siswa berpindah ke tahap berikutnya yang lebih tinggi selama siswa tersebut belum benar-benar menguasai tahapan yang sebelumnya. 

Tapi sayangnya metode ini masih dalam angan saya selama 7 tahun, sekedar coretan saja. Belum sempat dibuat dalam bentuk buku. Saya ingin sekali menyusunnya, tapi terkendala semangat yang turun naik. 

 Semoga dengan bergabung dalam lingkarannya Pak De Wijaya dengan impiannya, Sejuta Guru Ngeblok, semangat menulis saya bisa lebih membara. 

Terima kasih, Pak De Jay!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Galeri Ramadhan

Pondok Ramadlan SDN 3 Buduan 30 Maret 2023  SDN 3 Buduan Suboh, yang awalnya merencanakan akan melakukan kegiatan Pondok Ramadhan pada tanggal 17-19 April 2023, sesuai anjuran Dinas Pendidikan Kabupaten Situbondo, akhirnya memajukan pelaksanaan pada hari ini, Kamis 30 Maret hingga 2 April 2023. Bpk. Abdi Rasa menjadi ketua panitia kegiatan Pondok Ramadhan karena beliau adalah guru PAI di sekolah ini. Sekretaris kegiatan adalah Bpk. Lutfi Aziz, dan bendahara adalah Bpk. Aidi Kamil Baihaki. Kegiatan diawali dengan pelaksanaan shalat dhuha berjamaah. Kemudian dilanjutkan dengan seremonial pembukaan kegiatan, dipimpin oleh Ibu Rumiyati selaku kepala sekolah SDN 3 Buduan, dan doa dipimpin oleh Bpk. Lutfi Azis. Berlanjut dengan pemberian  wawasan tentang materi puasa, oleh Bpk. Abdi Rasa. Selesai materi di kelas, siswa melaksanakan tadarrus Al-Qur'an dengan dibagi menjadi kelompok putera dan kelompok puteri. Setiap siswa membaca 4 ayat dari Al-Qur'an secara bergantian. Teman yang la...

Totalitas Kebaikan

Totalitas Kebaikan Oleh: Aidi Kamil Baihaki   Bayangkan, ada seseorang yang tidak kita kenal, tiba-tiba datang menghiba minta pertolongan yang berkaitan dengan keuangan. Apa jawaban anda?  Hampir semua jawaban akan mengatakan kita harus lebih dulu mencari tahu apakah orang itu benar-benar patut dibantu atau tidak. Kalau perlu diinterogasi. Tak jarang juga kita malah serta merta menolak. Dulu, saya juga pernah memilih bersikap seperti itu. Berbuat baik pada seseorang karena mengenal orang tersebut. Baik itu karena mengenalnya sendiri atau juga berkat rekomendasi orang lain.  Kenapa ada sedikit persyaratan bahwa bantuan itu sebaiknya diberikan pada orang yang kita kenal?  Pernah saya berpikir bahwa normal saja jika kita membantu seseorang dan berharap orang tersebut terus mengingat kebaikan itu, hingga suatu saat dia akan membalas hutangnya pada kita. Tapi sungguh mengecewakan, orang itu seakan melupakan kebaikan kita.  Timbul pikiran, untuk apa berbuat baik terha...

Perkalian Bersusun

Kali ini, maksud saya tadi pagi di sekolah, saya mengetes kemampuan siswa dalam perkalian bersusun. Sungguh mengenaskan! Tak ada satu pun siswa yang bisa melakukan penghitungan perkalian cara bersusun. Nampaknya tugas kali ini menjadi berat. Bagaimana saya bisa mengajarkan Matematika kelas 5 jika materi kelas 4 belum dikuasai? Hari ini ada siswa yang baru bersekolah, kemaren-kemaren dia dalam kondisi baru dikhitan. Renandra, dipanggil Nanda. Tetapi di saat yang sama, ada dua siswa yang tidak ke sekolah: Dila dan Dinar. Hafalan perkalian sudah sampai bilangan 6, tapi belum semuanya berhasil menghafal. Jadi besok sebagian siswa dites perkalian 7, dan sebagian lagi dites perkalian 6. Saya merenung sebentar. Memang kemampuan siswa di daerah gunung dengan di daerah bawah sama saja. Faktor lingkungan tidak banyak berpengaruh. Guru tetap paling dominan memberikan andil dalam mengkonstruksi kemampuan siswa. Faktor keluarga dan lingkungan hanyalah sebagai pendukung. Sekunder. Sebelum pulang say...