Berdoa Tanpa Berharap
Oleh: Aidi Kamil Baihaki
Kemaren malam saya berkesempatan _untuk kesekian kalinya_ mengikuti Hadiran 46. Kegiatan rutin setengah bulanan yang digagas oleh salah satu alumnus Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.
Hadiran 46 ini menjadi nama komunitas yang mereka pilih.
Setiap orang sepintas akan mengaitkan pada pembalap Valentino Rossi yang beberapa kali menjadi jawara Grand Prix, setidaknya karena nomer 46 itu.
Ternyata bukan karena anggota komunitas ini pendukung The Doctor, julukan Rossi. Malahan di antaranya ngefans pada penunggang motor Honda musuh bebuyutan Rossi, Pedrosa. Bahkan ada yang sama sekali tidak suka menonton balap motor.
Di Pesantren Nurul Jadid, Hadiran adalah kegiatan santri setiap hari mulai dari Maghrib hingga Isya’. Hadiran berasal dari kata dasar hadir, artinya datang. Pada saat tersebut setiap santri wajib datang ke Masjid atau Mushalla untuk bersama-sama sholat, mengaji dan berdzikir.
Begitulah komunitas ini mengambil model kegiatan, membaca surat Yaasin, Al-Waqi’ah dan At-Tabaarak, kemudian tahlilan.
Adapun angka 46 disematkan semata-mata menggambarkan bahwa kegiatan ini bebas atau nonformal _atau mungkin sekedar gaya-gayaan_.
Sebagaimana Rossi yang meliuk sesukanya, menyalip justeru di tikungan, Hadiran 46 juga melakukan apapun yang menjadi inisiatif anggotanya tanpa pakem tertentu. Misalnya sekali waktu mengadakan giat Bansos untuk anak yatim piatu, kerja bakti sosial, nyekar ke makam waliyullah, istighasahan, atau apapun di samping kegiatan hadiran itu sendiri.
Sebenarnya tidak terlalu nyambung sih, hubungan antara filosofi kegiatan ini dengan Rossi dan nomernya. Tapi siapa peduli? Biasanya setelah mengaji dan tahlilan, mereka tidak segera pulang. Masih mengisi waktu dengan bincang santai. Saling gojlok malah yang paling sering, sekedar menambah cair situasi dan menambah keakraban.
Kegiatan kemaren malam ini menginspirasi saya untuk menulis, karena tiba-tiba Fadhal melontarkan pertanyaan pemancing diskusi yang menarik, “Bagaimana caranya agar doa mudah terkabul?”
Roqib yang pernah mengenyam pendidikan di Madrasah Aliyah Khusus, salah satu program elit di Madrasah Aliyah Nurul Jadid pada tahun 90-an, langsung menjawab, “Jhek andik pangarep!” Bahasa Madura yang artinya jangan ada harapan.
Kontan, setidaknya sebagian dari kami terheran-heran.
Fatah nyeletuk, “Mana mungkin ada doa begitu?”
Jamaluddin menambahkan, “Kalau tidak berharap, ngapain berdoa?”
Itu selaras dengan kebingungan saya.
Kemudian Roqib memberikan ulasan, “Ulama kita terbagi dalam dua kelompok dalam menyikapi hal doa. Kelompok pertama menganggap berdoa sebagai permintaan tidak tahu diri. Sudah terlalu banyak rahmat Allah yang diberikan, melampaui apa yang menjadi kebutuhan, melebihi semua keinginan. Sehingga menurut mereka, meminta hal yang lain lagi menggambarkan kelancangan!”
Wuih, itu benar juga, ya? Saya yakin orang-orang yang beranggapan demikian adalah para Sufi yang memang jiwanya betul-betul melepaskan diri dari ketergantungan duniawi. Mereka adalah orang-orang qona’ah yang selalu pasrah menerima takdir.
Saking terlalu menerimanya, pernah pada suatu jaman aliran sufi ini dianggap sebagai khurafat penghambat kemajuan muslim. Sebab kehidupan para sufi ini monoton, tidak berusaha membangun peradaban, mengabaikan pengetahuan formal, asosial dan menolak terlibat dalam urusan keduniaan. Anggapan yang tidak sepenuhnya benar.
“Kelompok ulama kedua,” Roqib melanjutkan, “menganggap doa adalah kewajiban. Itu berdasarkan firman Allah; Berdoalah kalian niscaya Aku kabulkan!"
"Mereka beranggapan bahwa seorang hamba yang tidak mau meminta pada tuannya merupakan salah satu bentuk sikap keangkuhan. Allah menyuruh kita meminta, kenapa tidak kita minta?”
Satrawi yang sedari tadi menyimak sambil nyemil memperbaiki posisi duduknya, kemudian ujarnya, “Saya lebih condong mengikuti ulama kedua!”
“Terserah! Mau mengikuti mahdzab yang mana pun, asal jangan menyalahkan pendapat kelompok lain secara _brutal_ mencaci maki.” Sahut Suher menanggapi seketika.
“Tapi tolong dilogiskan, bagaimana berdoa tanpa berharap?” Saya tertarik untuk bersuara juga.
Roqib merogoh rokoknya. Nampaknya dia perlu lebih rileks untuk menyatakan isi kepalanya.
Setelah menyulut rokok dan menghisapnya sekali, dia menjelaskan, “Berdoa tanpa berharap bisa diartikan sebagai doa yang...”
Roqib berhenti sebentar untuk menghempaskan asap rokok yang belum semuanya dihembuskan dari mulutnya.
Kalimat Roqib yang terhenti spontan disambung oleh Fadhol, “Doa yang iseng!” Membuat kami tertawa bersama.
“Doa tanpa berharap itu kita artikan doa yang ikhlas. Tanpa menuntut. Tanpa memaksa!” Ujar Hamsun yang biasanya lebih banyak menyimak dan jarang berkomentar.
“Betul! Meskipun Allah menyatakan; Pasti Aku kabulkan! bukan berarti bahwa Allah wajib menerima doa kita. Dan tidak harus apa yang kita minta itulah yang kita dapatkan. Allah memberikan kapan, di mana, dalam bentuk apa... Kita pasrahkan.” Ulas Roqib.
Sulthon berkata, atau lebih tepatnya bergumam saat kami terdiam mencerna pencerahan Roqib. “Kita jangan kalah pada pengemis. Mereka meminta _tentunya dengan harapan diberi uang yang banyak_ tapi tidak pernah protes jika diberi sedikit. Bahkan tidak diberi pun, mereka tidak kecewa.”
Saya terkesiap, teringat pada beberapa tahun yang lalu ketika suatu kali pernah meminta pada-Nya.
Saat itu kondisi keuangan benar-benar sekarat.
Bertepatan dengan malam ke 27 Ramadhan. Setelah shalat sunah 2 rakaat, saya berdoa; “Ya Allah, aku yakin Engkau maha mengabulkan doa. Engkau tahu kebutuhanku tanpa kuberitahu. Dan aku yakin Engkau akan memberiku yang terbaik untuk masa depanku serta keluargaku. Tapi jika Engkau menanyai, dalam bayanganku, yang terbaik adalah menjadi PNS!”
Saya kira, hingga saat ini belum pernah berdoa sepenuh hati seperti pada saat itu.
Alhamdulillah, doa saya diwujudkan-Nya setahun kemudian.
Saya setuju, berdoalah tanpa berharap. Berdoalah dan lakukan hal yang akan membuat kita makin dekat dengan kenyataan doa tersebut.
Seperti Om Jay yang bercita-cita memberdayakan guru-guru Indonesia. Dia melakukan banyak hal untuk menuju realitas doanya. Itu yang dinamakan berdoa disertai berusaha.
Tapi jangan lupa, terkabul atau tidaknya doa adalah hak preogratif Allah. Sehingga ketika doa kita tidak segera terjawab, tidak mendatangkan stress, apalagi menganggap Tuhan berbohong mengingkari firman-Nya sendiri.
Berdoalah, dan ikhlaslah menerima jawabannya.
Komentar
Posting Komentar