Oleh: Aidi Kamil Baihaki
Enam tahun silam...
Hari ke-3 aku ikut bekerja.
Sebenarnya Bapak melarang, tapi aku memaksa. Daripada bengong di rumah?
Aku tidak menganggap pekerjaan menjadi pelayan tukang ini sebagai pilihan, melainkan hanya untuk meluangkan waktu.
Tubuhku bersandar pada tembok yang baru terpasang setinggi semeter. Masih kurang 2 jam lagi waktu istirahat, tapi aku sudah kehabisan tenaga cadangan yang terakhir.
Kutoleh Bapak yang masih cekatan menuang adonan pasir semen, kemudian menumpuknya dengan bata.
Tubuh yang menurutku setengah renta itu, ternyata lebih kuat dariku, si pemuda berotot. Otot yang hampir belum pernah dipakai kecuali dalam tiga hari ini.
Ini hari ke-tujuh Ramadhan.
Mungkin aku kelelahan karena saat ini sedang berpuasa?
h, Bapak toh juga berpuasa, kenapa beliau masih terlihat sama dengan pagi tadi?
Apa karena perbedaan semangat?
Tiba-tiba terlintas bayangan masa depanku, seorang tukang bangunan yang memforsir tenaga seharian, pulang-pulang sudah kecapaian.
Anak isteri menyambut dengan senyum, tapi malah terabaikan. Kelelahan mengarahkanku untuk terus ke pembaringan.
Ya, Tuhan... Itukah masa depanku?
“Memangnya pekerjaan ini akan selesai dengan hanya duduk-duduk?” tiba-tiba suara Bapak membuyarkan lamunan. Tangannya memberi isyarat agar aku mendekatkan potongan bata.
“Sebentar lagi, Pak. Sepertinya puasaku minta dibatalkan!” sahutku lesu.
Bapak kemudian bangkit dan melakukan apa yang menjadi permintaannya sendiri.
Memindahkan potongan bata ke dekat tukang adalah pekerjaanku sebagai pelayan tukang. Tugas tukang adalah menyusun tembok bata. Tapi Bapak yang sekarang mengerjakan tugasku. Tanpa cemberut!
Kemudian Bapak duduk di dekatku. Nafasnya merasuk ke telinga. Tersengal-sengal!
Ya, Tuhan... Aku sudah berhutang tenaga pada laki-laki yang membesarkanku itu, dan setidaknya untuk sehari ini, tak mungkin aku mengembalikannya.
“Kamu menyerah?” tanya Bapak.
Entah apa maksudnya; menyerah dan berhenti bekerja ataukah membatalkan berpuasa? Salah satunya memang harus dipilih. Terus bekerja dan menghentikan puasa, atau terus berpuasa dan menghentikan bekerja.
Aku bisu, biar Bapak yang menentukan pilihan untukku.
“Bulan depan persiapkan semuanya. Tekad Bapak sudah bulat!”
Mata Bapak menghunjam dadaku, mengisyaratkan perintah sekaligus permohonan. “Bapak siap memperjuangkanmu sampai lulus!”
Bergetar rasanya hatiku, sekaligus perih!
Empat tahun Bapak akan membanting tulang supaya aku bisa kuliah? Empat tahun! Itupun kalau lancar.
Anak tetangga... Entah apa masalahnya, belum lulus pada tahun keenam. Dan selama itu biaya kuliah dan biaya hidup terus dikirimkan oleh orang tuanya.
Bukankah kali ini aku bekerja untuk diri sendiri. Memperjuangkan eksistensiku semata. Di banding Bapak yang bekerja demi eksistensi dirinya, isteri dan anak-anaknya. Bebanku sangat tidak seberapa.
Hanya bekerja tiga hari, rasanya sudah bertahun-tahun. tulang-tulangku rontok, otot-ototku remuk. Bagaimana Bapak bisa menyanggupi empat tahun?
Mataku nanar. Tumpukan bata yang teronggok jauh di depanku perlahan semakin terlihat samar. Kuusap cairan bening yang menetes tak sengaja di kedua mataku.
Sepanjang perjalanan usia, walau hanya sekian menit, baru kali ini aku benar-benar memperhitungkan hutang budi seorang anak pada orang tua.
Kusadari... Menumpuk menjulang kesalahan dan dosa yang kulakukan pada bapak.
Beliau bekerja di bawah terik, hingga keringatpun tak sempat mengalir karena langsung menguap lagi.
Susah payahnya belum pernah kubalas dengan kebanggaan. Misalnya dengan menunjukkan nilai raport, yang setidaknya masuk dalam prestasi sepuluh besar.
“Kalau kamu berhasil menjadi guru, berarti kamu sudah memenuhi impian dua orang sekaligus.” ujar Bapak.
Pandangannya menerawang. “Embahmu berharap aku mau sekolah SPG agar bisa menjadi guru sepertinya. Tapi aku sudah kadung...” Bapak menarik nafas panjang.
Kemudian katanya, “Impian Embahmu dan juga sebenarnya impian telatku, kutitip padamu!”
“Aku mau disuruh kuliah, Pak... tapi bukan PGSD!” tolakku. Itu yang diarahkannya sejak awal kusampaikan niat mau kuliah.
Aku terinspirasi menjadi Penulis, bukan Guru!
Tangan Bapak menepuk bahuku, kemudian bangkit untuk bekerja lagi sambil berkata, “Dengan menjadi guru, kamu sekaligus bisa menjadi penulis!”
Bayangan enam tahun yang lalu itu masih belum mengelupas dari dinding ingatanku. Masih berwarna mencolok! masih berbau tajam! Masih aku hapal titik komanya.
Kini... pulpen dan kertas ini kupegang sebagai alat memuntahkan semua isi kepala. Cerita tentang Bapak yang menjelma bak Malaikat Penolong menjadi inspirasi utama.
Andai saja kupilih jalan hidup mengekori Bapak, dari pagi hingga sore membanting tulang, sudah pasti malamnya tak bisa digunakan untuk memeras pikiran. Paling juga mendengkur tanpa sempat untuk sekedar menyesali nasib. Apalagi untuk merancang ulang nasib tersebut.
Tapi dengan menjadi guru, seperti kata Bapak, sudah kulunasi impian dua orang sekaligus yang paling berjasa dalam hidupku.
Dengan menjadi guru, bekerja sejak pagi dan pulang setengah sore, tentu waktuku lebih leluasa untuk menarikan pena, sambil menemani anak-anakku belajar di rumah.
Kini tengah kuperjuangkan impian kedua, menjadi seorang Penulis! Sebagai dedikasi tertinggi untuk bapak, jasa beliau yang akan kutoreh dalam debut cerpenku. Agar kalian tahu, aku menjadi Guru sekaligus Penulis karena bapakku.
Komentar
Posting Komentar