Ada Apa di Balik Toa?
Hampir di semua grup, serang tangkis terjadi antar kelompok pro melawan kelompok kontra Gus Menteri.
Adu cara berpikir, adu data, adu komentar, adu emosi juga, tapi tak sampai adu fisik. Wajar, bukan saja karena hampir semua grup WA saya berbau NU, melainkan karena memang hanya di Dumay, arena yang cuma menonjolkan sosok abstrak bernama ego.
Di Dumay tak ada aksi pamer otot atau pun teriakan. Yang ada hanya emoticon terbatas untuk menyatakan ekspresi. Kadang emoticon itu tidak bisa menangkap arti yang sesungguhnya. Jauh berbeda dengan kehidupan nyata.
<script async src="https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js?client=ca-pub-5952932768089958"
crossorigin="anonymous"></script>
Kelompok kontra telah sedemikian rumit menerjemah pesan-pesan Gus Mentri tentang aturan toa. Sekali lagi, aturan toa. Bukan doa.
Kelompok kontra seakan menemukan momen yang tepat untuk kembali menggencarkan jurus-jurusnya dengan maksud akhir merobohkan lawan. Di katakan demikian karena memang ini bukan kejadian pertama. Saya tidak perlu mendetailkannya.
Akhir-akhir ini kelompok kontra fokus pada asumsi tentang keagungan adzan dan hinanya anjing.
Kelompok yang pro menangkis tuduhan, salah satunya bahwa analogi Gus Menteri bukan tentang adzan dengan salak anjing. Apalagi salak pondo yang renyah dan manis itu. Gus Menteri lebih menitikberatkan pada suara bisingnya.
Kubu kontra langsung menimpali: "Lah, iya.. Kebisingan yang dimaksud itu, kan suara adzan atau lantunan ayat-ayat suci, apalagi? Bukankah suara yang menjadi obyek aturan Kemenag itu adalah suara yang keluar dari toa di masjid? Bukan toa di sembarang tempat?"
Kubu pro menepis dan seketika juga menyerang: "Eh, biasanya yang begitu mempersoalkan tentang adzan itu justeru mereka yang kemaren-kemaren tidak begitu peduli dengan suara adzan."
Saya menyeringai membaca komentar-komentar saling sambat itu. Setiap mereka yang melakukan bantahan dan membuat argumentasi adalah pahlawan bagi kelompok masing-masing. Benar-benar loyalitas tiada tara, mengingat mereka melakukan itu tanpa honor, tanpa diminta, tanpa paksaan, juga tanpa aplaus dari siapapun. Itu membuat kita terpana, betapa ikhlas perjibakuan mereka.
Dari sekian banyak adu retoris, ada kesan yang secara pribadi sangat saya apresiasi. Ini kelompok ketiga, kaum Khawarij. Hehe...
Ups! Bukan Khawarij, melainkan kelompok netral.
Seperti biasa, kelompok netral pasti sedikit banyak akan berpikir lebih sehat sebab terluput dari berbagai kepentingan atau konflik. Penilaian mereka cenderung objektif.
Menurut kelompok netral, sebenarnya tak ada masalah tentang pengaturan suara toa. Sama sekali tak ada. Hanya saja menganalogikan suara kebisingan toa, yang pastinya merujuk pada suara adzan dan kerabatnya, terhadap kebisingan salakan anjing adalah hal yang mutlak keliru.
Dengan pijakan cara berpikir kelompok netral ini saya mulai beranalisa, mengapa Gus Menteri seolah hendak menonjolkan diri secara individual? Bukankah lebih aman jika beliau memilih beberapa orang dari Kemenag yang mampu mempersepsikan pesan dari Gus Menteri tanpa harus terlibat langsung? Kita lihat bagaimana permainan politik Pak Presiden yang lebih banyak memainkan pionnya dibanding beliau berhadapan langsung dengan mereka yang selalu mengkritiknya.
Adakah Gus Menteri mempunyai target tertentu sebagai titik tuju?
Saya tidak mau ruwet sendiri, maka saya mengajak anda untuk turut memikirkan apa alasan-alasan Gus Menteri begitu tabah menjalani nasibnya sebagai menteri.
Silahkan berkomentar..
Komentar
Posting Komentar